Bentuk Pancasila
Bentuk Pancasila dalam artian ini diartikan sebagai rumusan
Pancasila sebagaimana tercantum di dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945.
Pancasila sebagai suatu sistem nilai mempunyai bentuk yang memiliki cirri-ciri
sebagai berikut :
·
Merupakan kesatuan yang utuh
Semua unsur dalam Pancasila menyusun suatu keberadaan yang utuh.
Masing-masing sila membentuk pengertian yang baru. Kelima sila tidak dapat
dilepas satu dengan yang lainnya. Walaupun masing-masing sila berdiri sendiri
tetapi hubungan antar sila merupakan hubungan yang organis.
·
Setiap unsur pembentuk Pancasila merupakan unsur mutlak yang
membentuk kesatuan, bukan unsur yang komplementer
Artinya, salah satu unsur (sila) kedudukannya tidak lebih rendah
dari yang lainnya. Walaupun sila Ketuhanan merupakan sila yang berkaitan dengan
Tuhan sebagai causa prima, tetapi tidak berarti sila yang lainnya
hanya sebagai pelengkap.
·
Sebagai kesatuan yang mutlak, tidak dapat ditambah dan dikurangi
Oleh karena itu, Pancasila tidak dapat diperas, menjadi trisila
yang meliputi sosio-nasionalisme, sosio demokrasi, ketuhanan, atau eka sila
yaitu gotong royong sebagaimana dikemukakan oleh Ir. Soekarno.
Susunan
Pancasila
A. PANCASILA
BERSIFAT ORGANIS
Rumusan
sistem organis memiliki makna bahwa antarsila di dalam Pancasila memiliki
fungsi-fungsi yang saling berhubungan dan keterkaitan seperti hakikat tubuh
manusia monopluralis. Manusia menjadi pokok pendukung Pancasila
mengandung analogi bahwa setiap bagian tubuh menopang bagian tubuh yang lain,
sama seperti sila-sila di dalam Pancasila.
B. PANCASILA
BERSIFAT HIRARKIS DAN BERBENTUK PIRAMID
Pengertian
hierarkis pyramidal digunakan untuk menggambarkan hubungan hierarkis/berjenjang
sila-sila pancasila, baik dalam kesatuan sila-sila pancasila juga dapat
dijelaskan dengan mengacu pada system filsafat yang terdiri dari 3 landasan,
yaitu antologis, epistemologis, dan aksiologis.
q Landasan
antologis berarti mengakui adanya suatu hal yang merupakan sebab dari adanya
suatu hal yang merupakan sebab dari adanya sesuatu yang lain dan merupakan
tempat kembali dari sesuatu yang lain tersebut. Sila 1 sebagai landasan
ontologis tidak langsung berarti bahwa Tuhan menjadi penyebab tidak langsung
adanya pancasila. Sedangkan sila ke 2 merupakan landasan ontologis langsung
karena manusia menjadi penyebab langsung adanya pancasila. Artinya pancasila
ada itu karena adanya manusia Indonesia yang merenungkan, merumuskan, dan
menjadikan sila-sila pancasila sebagai dasar negaranya.
q Landasan
epistemologis adalah suatu cara,metode, strategi, dan norma agar sesuatu yang
lain dapat kembali pada sebabnya. Sila ke 3 persatuan dan sila ke 4 yang
memiliki substansi asas demokrasi merupakan landasan epistemology bangsa
Indonesia
q Landasan
aksiologis dalam pancasila menunjukan bahwa tujuan bangsa indonesia selalu
diliputi oleh nilai-nilai, baik nilai-nilai religious seperti tersimpul dalam
sila pertama maupun nilai-nilai etis dan estetis, seperti yang ditunujukkan
dalam sila ke 2, ke 3, ke 4 dan ke 5. Artinya sila-sila pancasila mengandung
muatan nilai-nilai luhur yang menjadi acuan dalam perjalanan kehidupan
berbangsa dan bernegara.
C. SALING
MENGISI DAN SALING MENGKLASIFIKASI
Hubungan
yang saling mengisi dan saling mengkualifikasi merupakan cerminan dari satu
sila yang mengandung dan mengisi sila yang lain. Dengan kata lain bahwa sebuah
sila pasti mengandung intisari dari sila-sila yang lain.
Sila pertama : Ketuhanan Yang Maha Esa adalah
Ketuhanan yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia, yang
berkerakyatan tang dipinpim oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, yang berkeadilan social bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Sila
kedua : kemanusiaan yang adil dan beradab adalah kemanusiaan yang Berketuhannan
Yang Maha Esa, yang brpersatuan Indonesia, yang berkerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam prmusyawaratan/perwakilan, yang berkeadilan
social bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sila ketiga : persatuan Indonesia adalah
persatuan yang berKetuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab
, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, yang berkeadilan social bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Sila keempat : Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, adalah kerakyatan yang
Berketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang
berpersatuan Indonesia, yang berkeadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sila kelima : keadilan social bagi seluruh
rakyat Indonesia adalah yang Berketuhanan Yang Maha Esa, ber kemanusiaan yang
adil dan beradab, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan.